PERAHU AYAH
-untuk ayahku yang begitu hebat-

            Aku heran dengan pembicaraan orang-orang. Bukankah Tuhan itu Maha Sempurna? Segala makhluk diciptakannya juga dengan sempurna. Terlebih manusia yang juga dikaruniainya akal dan perasaan. Tuhan menciptakan manusia, yang malaikat pun iri kepadanya, Manusia diciptakan dengan indera yang berbagai rupa manfaatnya. Dia menciptakan manusia dengan sepasang telinga, kanan dan kiri, dengan hanya satu mulut. Tidak ada kebetulan di kamus Tuhan. Karena ini adalah semata-mata agar manusia lebih banyak mendengar dari pada berbicara-bergosip.
            Pengecutnya manusia untuk bertindak membuatnya lebih banyak berbicara. Apa yang tidak patut dibicarakan justru muncul ke permukaan menjadi topik pembicaraan. Hal yang biasa, justru sengaja dijadikan luar biasa. Aku pun tak banyak tahu kenapa orang-orang senang bergunjing. Fakta bahwa ayah tak punya pekerjaan, ibu hanya seorang buruh, kakak yang mampu melanjutkan kuliah, dan aku sendiri yang mampu bertahan untuk sekolah. Bagiku tak ada yang salah.

Sepuluh tahun lalu.
            Perahu ayahku -sebuah mimpi- karam berpuluh tahun lalu. Di sebuah senja yang ditemani kemilau kuning sinar mentari. Langit menangis berlinang air mata. Sebuah perahu karam diterpa badai. Ayahku mengalami kecelakaan hebat. Langkahnya terhenti. Kakinya patah (dalam arti sebenarnya). Senja ini Tuhan melempar kerikil dari singgasana-Nya yang agung. Bagi-Nya ini hanya sebuah kerikil, tapi bagiku, yang baru berusia 2 tahun, ini adalah bongkahan batu dari langit. Begitu menyakitkan dan berdampak luar biasa. Tangis langit pecah. Tangisku pun juga.
            Dokter memasang batang platina di kaki kiri ayahku. Sebelas skrup dipasang rapi. Semata-mata agar batang platina mampu bertahan di tempatnya. Semata-mata agar ayahku memiliki langkah untuk melanjutkan hidup. Begitulah hari-hari harus dijalani. Sementara ayah masih di pembaringan, ibu tak henti-hentinya memandangku sedari tadi. Tangan kirinya menggendongku yang merengek karena tak suka wanginya aroma rumah sakit, sedangkan tangan kanannya merangkul kakakku yang kebingungan melihat ayahnya terbaring. Sepatah kata lirih terucap dari ibuku  : Ayah, karir yang kemarin sedang di puncak kini telah tiada. Harta tak lagi tampak. Rumah dan peternakan apalagi.
Hari yang baru telah datang. Matahari telah kembali dari perbaringannya sepanjang malam. Sayang matahari tak menjadi saksi malam tadi. Namun di sore ini matahari akan menjadi saksi episode berikutnya.
Ayah membawa seorang gadis kecil turut bersamanya. Sepeda motor tua juga dibawa serta. Sore ini matahari bersembunyi dari kami. Dengan langkah malu-malu dia bersembunyi di balik awan. Awan putih yang berarakan dibawa oleh angin sejuk pedesaan. Di sepanjang jalan aku tersenyum. Burung-burung mengalunkan sebuah kisah.
“Nona kecil  maukah kau mendengar kisahku?”
“Iyap… mau-mau” nadaku manja.
Burung mulai berkisah. Suatu ketika ada seorang ayah yang tak kaya. Tidak kaya ilmu apalagi harta. Sewaktu seusiamu, bersama angin pegunungan dia memikirkan sebuah perahu. Begitu banyak perahu mengisi pikirannya. Coklat, hijau, merah, kuning. Begitu banyak dan berwarna-warni. Keheningan aroma pegunungan mengalun indah di sekitarnya. Dengan tingkahnya yang polos dia berdoa agar samudra tak menjadi kering sampai kapal-kapalnya yang kini masih kecil tumbuh menjadi kapal yang besar. Namun dalam perjalanannya bocah kecil ini berulang kali tersandung karang. Sampai puncaknya ketika dia sudah menjadi ayah perahunya hancur diterpa badai. Perahu yang berisi harapan itu karam sudah.
“Nona kecil kamu tau tidak siapa dia?”
“Tidak tidak tidak”
“Dialah ayahmu. Kini dia menitipkan perahunya yang hancur kepadamu. Untuk kau jaga. Untuk kau perbaiki. Dan untuk berlayar bersamamu dengan membawa serta keluargamu”
Ayah memegang tanganku erat. Tak mau kehilangan aku. Juga tak mau kehilangan perahu dalam diriku. Demi menjaga layar perahuku terus berkembang beliau memasukkanku ke sebuah sanggar tari. Biar sang pelatih meragukan keputusannya, dengan tegak nan lantang beliau menjawab.
“Ini bukan masalah benar atau salah Pak. Saya hanya ingin membekalinya dengan rasa percaya diri. Agar dia tidak takut menghadapi dunia dengan kondisinya yang seperti ini. Dengan kondisi keluarganya yang serba terbatas ini. Dengan menari dia tak akan takut pada pandangan orang. Dengan menari dia akan menegakkan wajahnya saat bertatapan dengan penonton yang melihatnya. Dengan menari mau tidak mau dia harus mampu tersenyum. Bukankah begitu Pak? Oh ya dan satu lagi, saya ingin mempersiapkan dia menjadi pemimpin yang tidak takut berhadapan dengan orang. Pemimpin yang kuat, tangguh, dan percaya diri.”
            Sampai usiaku sekarang perbincangan antara ayah dan pelatih masih begitu utuh teringat. Satu paragraf penuh kubingkai bersama waktu yang membawaku menuju kedewasaan.
            Itulah hidupku. Perahu ayah telah membuatku menutup mata atas pandangan orang-orang yang meragukan langkah kakiku. Telah menutup telingaku dari gunjingan orang-orang yang memustahilkan cita-citaku. Kini perahuku – mimpi-mimpiku-  tak berlayar sendiri. Karena aku mengarungi samudra bersama perahu ayah, ibu, dan kakakku. Sampai sejauh mana? Sampai angin membawanya terdampar di pulau impian.

Hidup bersama perahu
Mengarungi samudra
Menghadapi badai
Menerima hembusan angin
Apa itu perahu?
Adalah harapan-sebuah mimpi
***
by : eN