WAWASAN
NUSANTARA
STRATEGI
PEMEKARAN WILAYAH DI INDONESIA
“GOOD GOVERNANCE MENJADI SOLUSI
PENINGKATAN KUALITAS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA”
NAMA : NIKI ARINI
NIM : 12/330331/TK/39507
JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
I.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah sebuah gambaran
kekayaan yang luar biasa. Terdiri dari beribu-ribu pulau, ratusan penduduk,
puluhan macam sumber daya, bahkan posisi geografis yang luar biasa
menguntungkan. Berada di antara dua samudera dan dua benua.
Jika kita berpikir lebih mendalam,
kondisi yang serba kaya seperti ini tak selamanya menguntungkan. Lihat saja
kondisi Indonesia yang disebut gemah
ripah loh jinawi ini! Banyak terjadi gejolak sosial karena kekayaan budaya
yang ada, mulai dari bentrokan antar warga, perebutan wilayah antar
kabupaten/provinsi, bahkan muncul gerakan separatis akibat ketidakadilan yang
dirasakan oleh daerah perbatasan.
Kemudian bagaimana solusi
permasalahan seperti ini? Dalam kuliah sebelumnya sudah disebutkan bahwa
pilihan yang bisa dilakukan ada dua yaitu :
1.
Merubah kondisi fisik Indonesia, yaitu
dengan menimbun lautan dengan tanah agar seluruh wilayah Indonesia menjadi
daratan, atau menghubungkan daratan yang terpisah lautan dengan membangun jembatan.
Kedua solusi ini urung dilakukan karena
memang hampir tidak mungkin dilakukan mengingat kondisi Indonesia yang 2/3
wilayahnya adalah lautan. Jika dipaksakan niscaya akan membutuhkan biaya yang
sangat amat besar. Resiko kegagalan pun sangat mungkin terjadi jika perencanaan
kurang matang.
2.
Merubah
kondisi subjek, yaitu dengan mengubah kelemahan
menjadi kekuatan melalui transformasi cara pandang bangsa Indonesia terhadap
wawasan nusantara.
Solusi inilah yang paling mungkin
dilakukan. Maka dari itu muncullah strategi geopolitik Indonesia dengan
mengedepankan kondisi geomorfologi yang meliputi bentuk, luas, sumber daya
alam, dan juga iklim.
Kemudian apakah otonomi daerah adalah salah satu
proyek geopolitik Indonesia? Jawabannya adalah YA. Maka dari itu dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan
menguraikan bagaimana pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini terkait koordinasi
antara pemerintah pusat dan daerah. Serta koreksi dan solusi bagi otonomi yang
sudah dilaksanakan sejauh ini.
II. PEMBAHASAN
A. Seputar Otonomi Daerah
Berlatar belakang keadaan geopolitik Indonesia yang
begitu memukau muncullah gagasan pengelolaan pemerintahan lewat otonomi daerah.
Menurut UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Telaah teoritis beberapa ilmuwan sendiri memiliki
interpretasi yang berbeda-beda tentang otonomi daerah, seperti berikut ini :
1. Mary
Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence
dari suatu institusi (Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995).
Otonomi yang dimaksud di sini bukanlah otonomi yang benar-benar memberikan
“kebebasan dan kemerdekaan”. Namun hanya memungkinkan institusi publik untuk
bekerja demi identitasnya.
2. Dworkin
1998 (Terry, 1995: 49) mengidentikkan otonomi sebagai sebuah keadaan di mana
masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Hal ini didasarkan pada
tinjauan etimologi kata otonomi. Yaitu “autos”
yang berarti sendiri dan “nomos”
yang berarti pemerintahan.
3. Otonomi
diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai
jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi
(Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki
dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya.
Di Indonesia sendiri
otonomi daerah didasarkan pada pasal 18 UUD NRI 1994 ayat (1) yang berbunyi
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.”
Amandemen terhadap pasal ini dimaksudkan untuk
memperjelas pembagian kekuasaan dengan namun dengan tetap memperhatikan
keterkaitan dengan pasal 25A yang berbunyi “ Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah sebuah negara kepulauan yang bercirikan Nusantara dengan wilayah yang
batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Keterkaitan antara
kedua pasal ini menunjukkan bahwa biarpun Indonesia dikelola secara
desentralisasi, Indonesia tetap merupakan Negara Kesatuan. Hal ini semakin kuat
dengan dipergunakannya kata “di bagi
atas” bukan “terdiri dari”.
Karena kata terdiri atas ini sangat identik dengan negara federal, seperti
Amerika Serikat.
B. Koreksi terhadap Jalannya Otonomi
Daerah dan Koordinasi Pusat dan Daerah
Prof.Dr. Ryaas Rasyid, mantan menteri Otonomi Daerah
di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, dalam acara “Cakap-cakap Potensi
Perekonomian Kepulauan Riau dalam Perspektif Otonomi Daerah” mengungkapkan
bahwa kekeliruan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebenarnya disebabkan oleh
kegagalan pemerintah pusat dalam membuat supervisi. Hal ini berdampak pada
perbedaan persepsi daerah dalam membuat kebijakan sehingga muncullah
kebijakan-kebijakan terkait pungutan-pungutan liar (Harian Kompas
edisi Selasa 4 Desember 2012).
Kekeliruan otonomi daerah juga akibat adanya
inkonsistensi peraturan, terutama yang terdapat dalam UU No 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Dimana dalam pasal 2 dinyatakan bahwa “Daerah-daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu
sama lain.” Dengan tidak adanya hubungan hieraki ini maka konsep koordinasi
yang sangat penting bagi pelaksanaan otonomi daerah menjadi sangat minim.
Kemudian bagaimana mungkin koordinasi akan terjadi
apabila tidak ada hierarki di sana? Padahal kekuasaan dan otoritas bukanlah sesuatu yang begitu
saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara
struktural. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa dengan tidak adanya
hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung
hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di
Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen.
Padahal sangat nyata bahwa rentang kendali (span of control) yang begitu
luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang hanya manusia
biasa.
Sebenarnya
konsep otonomi daerah itu bagus. Kita harus yakin bahwa otonomi daerah itu
adalah sebuah solusi yang lebih baik guna membuat Indonesia ini terurus dengan
lebih baik. Yaitu dengan mengubah paradigma lama yang “sentralistik” menjadi
paradigma baru yaitu “desentralistik” yang lebih mengedepankan prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah. Jangan lagi pernah berpikir bahwa otonomi daerah adalah
upaya untuk merancang Indonesia menjadi negara federal, seperti Amerika.
Menurut
David After (1977) negara-negara federalistik adalah negara yang didirikan
dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal. Biar pun
ahli berpendapat bahwa negara federal lebih efisien dikelola secara
terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat.
Tetap yakinlah bahwa Negara Indonesia yang kesatuan tepat apabila dikelola
dengan desentralistik dengan tetap mengedepankan koordinasi yang kuat dari
berbagai pihak.
Keraguan
mengapa otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia belum membuat Indonesia
lebih baik adalah karena kesalahan strategi
yang diterapkan. Koordinasi yang harusnya dijalankan dengan baik justru menjadi
fenomena tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah. Masih ada konflik
antara otonomi daerah dengan konsep kesatuan. Di satu sisi pemerintah daerah
ingin mandiri dalam mengelola daerah berdasarkan inisiatifnya sendiri namun di
sisi lain pemerintah pusat merasa punya kendali dalam menjaga kesatuan bangsa
dan negara. Akibatnya terjadilah campur tangan pemerintah dalam pengelolaan
pemerintahan daerah. Walaupun campur tangan pusat memang tidak bisa dipungkiri.
C. Solusi Bagi Peningkatan Kualitas
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Konsep awal
otonomi daerah adalah mengedepankan pemerintahan yang “desentralistik” dengan
menjunjung asas demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah. Dengan mengingat kekeliruan-kekeliruan pada pelaksanaan otonomi daerah,
dimana terjadi kegagalan supervisi dari pemerintah pusat kemudian juga terjadi
misskoordinasi antara pusat dan daerah, serta belum jelasnya visi, misi, dan
strategi otonomi daerah maka ide untuk
memaksimalkan good governance adalah solusi yang bisa diandalkan. Di dalam good
governance ini ditekankan pentingnya :
1. Visi Strategi
Dimana
setiap daerah otonom harus memiliki visi, misi, dan strategi yang jelas terkait
otonomi yang dijalankannya. Daerah otonom tahu bagaimana potensi dan identitas
daerahnya dan bagaimana menjalankan dan mengelolanya dengan baik guna memajukan
pembangunan daerah masing-masing demi kesejahteraan masyarakat di sana.
2. Transparansi
Adalah keterbukaan
pemerintahan pusat kepada masyarakat daerah terhadap kebijakan publik yang
diambilnya. Pemerintahan yang menjunjung transparansi akan membuka gerbang yang
selebar-lebarnya pada aspirasi masyarakat daerah, baik berupa pendapat, saran,
kritik maupun pertanyaan. Sehingga masyarakat mampu melaksanakan peran controling dan monitoring dengan maksimal.
3. Responsivitas
Sebuah kelompok
masyarakat tidak bisa lepas dari dinamika. Pasti ada saja problematika yang
muncul, mulai dari keadaan harga pangan yang fluktuatif, kenaikan Tarif Dasar
Listrik (TDL), dan lainnya. Maka pemerintah harus tanggap terhadap dinamika
sekecil apapun yang terjadi. Sehingga kondusivitas masyarakat tetap terjaga.
4. Keadilan
Keadilan di masyarakat
semestinya diusahakan oleh pemerintah. Elemen pemerintah harus menjaga keadilan
bagi setiap orang di wilayahnya terkait dengan kesempatan mereka untuk
memperbaiki kesejahteraannya. Bisa dengan membuka lapangan kerja yang
selebar-lebarnya, baik bagi yang berpendidikan menengah ke bawah maupun
berpendidikan tinggi.
5. Efektivitas
dan Efisiensi
Efektivitas suatu
pemerintahan terkait dengan seberapa jauh pemerintahan tersebut mampu
menjalankan strategi pemerintahan yang sudah dirancang sebelumnya. Sedangkan
efisiensi terkait dengan ketepatan waktu pelaksanaan strategi pemerintahan.
Suatu pemerintahan yang baik mampu merancang strategi pemerintahan yang sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristik daerah dan mampu mengeksekusi program kerja
dengan baik yaitu dengan efektif dan efisien.
6. Akuntabilitas
Pertanggungjawaban
suatu pemerintahan turut menjadi indikator good governance. Akuntabilitas ini
terkait juga dengan kepedulian pemerintah akan dampak positif maupun negatif
dari kebijakan publik yang dilakukannya.
7. Demokrasi
Demokrasi berasal dari
kata “demos” yang berarti rakyat dan
“kratos” yang bearti pemerintahan. Jadi
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Keterbukaan pemerintah pada pelaksanaan demokrasi adalah salah satu indikator
good governance.
Apabila nilai-nilai tersebut mampu dilaksanakan, maka niscaya
otonomi daerah yang mendekati ideal mampu dicapai. Langkah awal yang perlu
dilakukan adalah melakukan reformasi lembaga-lembaga pemerintahan, sekaligus
memperjelas visi dan misi daerah sehingga pembangunan daerah mampu terlaksana
dengan lebih efektif dan efisien. Dan yang terpenting lainnya adalah perbaikan
kualitas Sumber Daya Manusia yang ada sehingga mampu memaksimalkan Sumber Daya
Alam yang ada.
III. PENUTUP
Kekayaan
Indonesia akan menjadi boomerang apabila tidak dikelola dengan baik. Otonomi
daerah menawarkan pengelolaan Negara Indonesia yang kesatuan secara
desentralisasi sehingga setiap daerah akan mempunyai pemerintahan yang mandiri.
Konsep otonomi daerah ini bagus. Namun dalam pelaksanaannya terjadi beberapa
kekeliruan sehingga dampak positif otonomi daerah belum dirasakan oleh
masyarakat. Pemerintahan berbasis good governance menawarkan solusi guna memperbaiki
pelaksanaan otonomi daerah ini. Dimana otonomi daerah akan dikembalikan pada
konsep awalnya yang mengedepankan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
1. Manan Bagir, 2004, Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia
2. Pantja I Gde, 2008, Problematika
Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: PT Alumni
Perudang-undangan :
1.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah
Internet
1. Yustinus,
Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah. From : http://yustinusmf.blogspot.com/2012/04/hambatan-hambatan-dalam
pelaksanaan.html. 9 Mei 2013
2.
Syaiku Usman, dkk, Studi Proses Pelaksanaan dan
Dampak Otonomi Daerah.From:http://www.smeru.or.id/report/field/studidampakotda/studidampakotda.pdf. 15
Mei 2013